penanews.id, JAKARTA – HEALING forest atau terapi hutan tengah menjadi tren dunia sebagai cara baru memulihkan stres, baik fisik maupun mental. Dalam penelitian Matther P. White yang dipublikasikan jurnal Scientific Report volume 9 edisi 12 Juni 2019 terbukti bahwa tegakan pohon, ekosistem hutan, dan alam terbuka bisa memulihkan kesehatan fisik dan mental.
White menganalisis kondisi fisik dan kejiwaan hampir 20.000 responden di Inggris. Ia dan timnya menyimpulkan bahwa daya tahan tubuh para responden terhadap serang virus naik setelah mereka berjalan di alam terbuka, di taman, atau pantai selama 120 menit hingga 300 menit.
Baca Juga:
Penelitian White mempopulerkan istilah “forest bathing” yang diserap dari istilah Jepang “shinrin-yoku”. Istilah ini dikenalkan oleh Qing Li, Presiden Kelompok Pengobatan dari Hutan di Tokyo, dalam bukunya Shinrin-Yoku: The Art and Science of Forest Bathing.
Menurut dia berjalan di bawah hutan dan menjumpai kehijauan alam adalah faktor penting dalam memerangi penyakit di tubuh dan pikiran.
Setiap hari, Qing berjalan-jalan di taman kota di dekat Nippon Medical School di Tokyo. Dalam sebulan Li menghabiskan tiga hari berjalan di hutan alam Jepang yang sebenarnya. Dalam buku yang terbit pada 2018 itu, Li membuat panduan “mandi hutan”:
“Tinggalkan ponsel dan kamera. Berjalanlah tanpa tujuan dan perlahan. Biarkan tubuhmu yang menuntun arahmu. Dengarkan ke mana ia ingin membawamu. Ikuti hidung dan panca indramu. Tidak masalah jika kamu tidak berjalan dan hanya diam. Nikmatilah suara, aroma, dan pemandangan alam dan biarkan alam memasukimu dan kamu memasukinya.”
Dengan konsep yang sama, Hikmat Ramdan mengembangkan “healing forest” dan menelitinya bertahun-tahun. Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung dan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Angkatan 1990 ini mengujinya saat acara Forest Camp para alumni Fakultas Kehutanan IPB pada 27 Oktober 2019 di Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat.
Dengan aplikasi Smart Pulse, yang dibuat Korea, Hikmat mengukur kondisi stres fisik (physical stress) dan mental (mental stress) enam relawan untuk diuji sebelum dan setelah berjalan di hutan.
Gunung Walat berada di ketinggian 720 meter dari permukaan laut yang dihuni vegetasi pegunungan dataran rendah seperti damar dan agathis. Gunung Walat seluas 359 hektare ini merupakan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB. Ada jalur jalan setapak di antara tegakan pohon menuju areal kemping yang berjarak sekitar 2 kilometer dari kantor pengelola.
Sebelum menerapkannya di Gunung Walat, Hikmat telah menguji “healing forest” di Taman Wisata Alam Puncak Bintang KPH Bandung Utara, Jawa Barat. “Ekosistem hutan di sana telah menurunkan stres rata-rata hingga 20 level,” katanya.
Menurut Hikmat, stres pada manusia timbul karena tubuh merespons negatif terhadap keadaan sekeliling. Karena itu konsep penyembuhan kini memanfaatkan ekosistem hutan agar manusia dan lingkungannya saling terkoneksi. Karena itu ada beberapa syarat yang harus dimiliki agar sebuah ekosistem bisa menjadi sarana penyembuhan.
Ukurannya adalah objek yang tertangkap oleh panca indra. Agar kita nyaman, suara di sekeliling tak lebih dari 40 desibel; penglihatan sekeliling tidak tertutup, indah dan menyejukkan mata; bau tidak menyengat; pengecapan yang normal; rasa yang dipengaruhi suhu sekeliling yang sejuk—tidak terlalu panas dan kering; dan gerak tubuh yang ringan tak berakibat pada kelelahan.
Dari penelitiannya, Hikmat menemukan bahwa ruang ekosistem yang memberikan rasa nyaman bagi tubuh di antaranya jika suhu maksimal 24 derajat Celsius, kelembapan udara 65-70%, intensitas cahaya 300-500 lux, kerapatan vegetasi 70-100%, kebisingan di bawah 40 desibel, dan kelerengan datar sampai landai.
“Kalau terlalu terjal juga lutut akan nyorodcod, akan tidak nyaman berjalan,” katanya. Dengan makin nyaman tubuh, maka level stres bisa turun.
Dari mana hutan bisa memberikan kenyamanan dan menurunkan stres? Menurut Hikmat, resultante dari ruang hutan yang didominasi warna hijau alamiah, suhu yang sejuk dengan penyinaran matahari yang terfilter tajuk pohon-pohon, kebisingan suara dalam hutan yang minimal dan menenangkan, banyaknya udara bersih yang terhirup masuk ke dalam tubuh serta aktivitas yang rileks yang tidak menimbulkan kelelahan, kehausan dan rasa lapar, menciptakan rasa nyaman secara fisik dan mental.
Dengan makin nyamannya tubuh, kita akan mudah terkoneksi dengan ekosistem sehingga stres turun. Karena, secara sederhana, stres dipicu oleh hal-hal yang tidak nyaman dirasakan oleh tubuh, baik secara fisik ataupun psikis.
Dalam banyak penelitian, udara yang segar mengandung banyak phytoncides, bahan kimia alami yang diproduksi tanaman dalam melindungi diri dari serangan hama dan serangga.
Literatur menjelaskan jika kita menghirup zat kimia ini, tubuh akan meresponsnya dengan meningkatkan jumlah dan aktivitas jenis sel darah putih yang menjadi sel pembunuh alami. Sel-sel ini berperan membunuh sel-sel yang terinfeksi tumor dan virus dalam tubuh kita.
Penelitian-penelitian forest bathing, terutama yang dirumuskan Qing Li, menemukan bahwa naiknya aktivitas sel pembunuh kanker terjadi setelah berjalan di hutan 3 hari 2 malam dalam kurun 30 hari.
Maka tak heran, Li salalu menyempatkan diri berjalan-jalan di taman dua jam setiap sore dan masuk hutan tiap akhir pekan untuk mengakumulasikan waktu tempuh “shinrin-yoku”. Para peneliti Jepang tengah meneliti apakah “mandi hutan” bisa menyembuhkan jenis kanker tertentu.
Karena itu, menurut Hikmat, healing forest menuntut beberapa syarat. Sebetulnya, kata dia, dalam proses penyembuhan memakai hutan, ekosistemnya mesti ditentukan lebih dahulu karena ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi. “Tidak semua kawasan hutan punya spot untuk healing forest,” kata dia.
Karena itu, kata Hikmat, healing forest menekankan pada kontribusi ruang ekosistem hutan menyediakan “healing services” bagi manusia. Pendekatan ekosistem hutan terhadap kesehatan ini yang difokuskan dalam “healing forest”. “Karena dalam healing, tidak saja menyembuhkan yang sakit tapi memperkuat yang sehat, dan sebagai pemulihan setelah sakit,” kata dia.
“Sebab kita adalah mahluk ekologis, mahluk yang membutuhkan ekosistem alamiah berikut jasa-jasa ekosistemnya, termasuk jasa untuk kesehatan.”
Setelah berjalan sekitar 2 kilometer selama sekitar 20 menit, para relawan yang telah diukur stres fisik, stres mental, dan kandungan oksigen dalam tubuhnya diukur kembali.
Sebelum sampai camping ground, jalan terjal menurun dan menanjak sekitar 4 meter membuat para peserta yang tak terbiasa hiking kerepotan menaikinya. Dalam healing forest, jalan terjal ini harus dihindari agar badan tidak sakit.
Tingkat stres fisik dan mental Gustav Ardianto, 47 tahun, menurun dari 63 menjadi 42 atau menurun 21 level setelah berjalan di hutan Gunung Walat. Stres fisiknya bahkan menurun sangat drastis dari 89 menjadi tinggal 62—level yang mendekati normal. Gustav baru tiba sore di Gunung Walat menempuh macet dari Jakarta ke Sukabumi selama 3 jam dan mobilnya sempat mogok.
Secara berkelakar, pengusaha ini mengatakan stresnya muncul karena banyak proyek yang belum deal. “Jadi, healing forest memang terbukti bisa menurunkan stres,” katanya.
Sementara pada Frida, 48 tahun, tingkat stres dan kelelahan fisiknya malah naik dari level 2 menjadi 35 untuk fisik dan 46 menjadi 47 untuk mental. “Mungkin karena saya sedang flu berat,” katanya.
Semestinya orang yang sedang sakit seperti Frida tidak disarankan untuk ikut trek jalan yang jauh dan ada lokasi terjalnya, cukup saja berdiam di spot hutan dan tidak melakukan kegiatan yang melelahkan fisik.
Begitu juga dengan Yulita Vitalis. Hanya stres fisiknya yang turun dari 60 menjadi 56, sementara stres mental naik dari 43 menjadi 47. Frida dan Yulita adalah panitia Forest Camp yang menyiapkan acara ini dalam dua bulan terakhir dan sibuk selama dua hari acara.
Menurut Hikmat, untuk mendapatkan manfaat healing forest ada lima hal yang harus dilakukan para peserta: menyatu dengan alam, pikiran relaks, berpikir positif, menikmati keindahan alam dengan berjalan dan berbicara pelan, bersyukur kepada alam dan pencipta-Nya.
Pengelolaan hutan yang mengandalkan sepenuhnya pada komoditas kayu, setelah Indonesia merdeka, menghasilkan deforestasi dan degradasi lahan yang akut dan membuat planet bumi kian memanas. Pertumbuhan penduduk dan tuntutan kebutuhan ekonomi menambah derita hutan tropis Indonesia.
Setelah 34 juta hektare tutupan hutan hilang, setelah 49% habitat endemis lenyap, kini ada upaya memulihkan hutan kembali lewat restorasi ekosistem: paradigma yang tak lagi melihat hutan semata tegakan pohon. Restorasi seperti cuci dosa masa lalu, cuci piring kotor sebelum kenyang, insaf yang hampir terlambat.
Setelah satu dekade, restorasi masih merangkak dengan pelbagai problem. Aturan-aturan main belum siap, regulasi masih tumpang tindih, organ-organ birokrasi di tingkat tapak belum sepenuhnya berjalan.
Forstdigest.com