penanews.id, JAKARTA – SATU dari enam tuntutan Reformasi 1998 adalah otonomi daerah seluas-luasnya, selain mengadili Soeharto dan kroninya, menghapus dwi fungsi tentara, pemberantasan korupsi, amendemen konstitusi untuk membuka pemilihan presiden langsung, dan penegakan supremasi hukum.
Kini, 22 tahun kemudian, tuntutan yang belum sepenuhnya terkabulkan itu malah dipreteli.
Pemerintahan Joko Widodo mengajukan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mempercepat dan mempermudah investasi.
Jokowi kesengsem menaikkan derajat Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan rendah ke menengah atau maju melalui ekonomi. Caranya adalah membabat semua aturan yang menghambat arus modal masuk.
Hambatan investasi itu, bagi para perancang undang-undang itu, adalah banyaknya tumpang tindih izin dari pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat.
Meski sudah ada perizinan satu pintu, banyak aturan tak sinkron sehingga pertumbuhan dunia usaha maupun modal baru menjadi lambat dan terhambat.
Omnibus law bercita-cita menyapu semua aturan itu dan menjadikannya satu aturan untuk mempermudahnya.
Izin-izin berusaha akan ditarik ke pemerintah pusat. Selama ini izin berusaha memerlukan permit berlapis sejak bupati, lalu naik ke gubernur, sebelum singgah di kementerian terkait usaha tersebut.
Dalam RUU itu bahkan ada satu pasal yang secara jelas memberikan mandat penuh kepada pemerintah pusat menganulir aturan dalam undang-undang lain yang belum terserap dalam omnibus law untuk dibatalkan.
Keberadaan Pasal 170 dalam Bab XIII Ketentuan Lain-Lain itu membuat pemerintah segera dituding hendak mengembalikan sentralisme kekuasaan.
“Membatalkan undang-undang tidak bisa oleh peraturan pemerintah yang menjadi kewenangan eksekutif semata,” kata Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dalam sebuah diskusi di Jakarta, 20 Februari 2020.
Menurut Endi, semangat omnibus law bagus karena hendak menyederhanakan aturan yang terserak di setiap tingkat pemerintahan. Ia menyebut Indonesia sebagai negara “obesitas regulasi” atau “hyper regulasi”.
Lebih kacau lagi, tiap regulasi punya aturan beda-beda sehingga membingungkan pelaku usaha yang menciptakan inefisiensi dalam industri.
Apalagi, membatalkan sebuah peraturan daerah yang bermasalah kini tak serta merta dan mudah. Sejak 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa menguji sebuah peraturan mesti melalui Mahkamah Agung.
Dengan semangat otonomi, mengingat Menteri Dalam Negeri tidak sederjat dengan gubernur dan bupati yang dipilih langsung, menguji produk hukumnya juga mesti lembaga eksekutif setingkat presiden—yang juga dipilih langsung.
Dalam sistem hukum Indonesia, Mahkamah Agung bersifat pasif. Artinya, menguji sebuah aturan mesti diajukan oleh mereka yang berkepentingan atau terkena dampak aturan tersebut.
Dan gugatan membutuhkan biaya untuk sewa pengacara, sehingga masyarakat jeri menguji sebuah aturan yang dianggap merugikan.
“KPPOD kini tak punya legal standing menguji aturan bermasalah,” kata Endi.
Selama tiga tahun hanya dua peraturan daerah yang digugat ke Mahkamah Agung. Padahal, menurut catatan KPPOD, setidaknya ada 347 peraturan daerah yang tumpang tindih dan tak sinkron dengan aturan lain di atasnya.
Maka, kata Endi, omnibus law akan jadi pemecah kebuntuan dari kekacauan aturan itu.
Masalahnya, visi pemerintah itu tak konsisten dengan penerjemahannya dalam omnibus law.
Menurut Endi, pemerintah terkesan kurang sabar merumuskan pasal-pasal dalam rancangan yang mencapai lebih dari 1.000 halaman itu karena memuat 11 sektor dan memampatkan lebih dari 70 beleid.
Akibatnya, omnibus law Cipta Kerja tak selaras dengan semangat otonomi yang menjadi cita-cita Reformasi.
Menurut Endi, kekacauan aturan akibat otonomi karena buruknya tata kelola tak bisa dijadikan alasan oleh pemerintah pusat mengambil alih kembali kewenangan dari pemerintah daerah.
Ada tiga tiang yang menopang otonomi: otoritas besar, integritas, dan kapasitas. Otoritas tanpa integritas akan melahirkan korupsi seperti sekarang, otoritas tanpa kapasitas membuat kekacauan jalannya pemerintahan.
“Pilihannya sekarang: mengurangi otoritas atau memperkuat integritas dan kapasitas pemerintah daerah,” kata Endi. “Dalam otonomi, pilihannya yang kedua.”
Urusan pertambangan dan kehutanan kini sudah bukan lagi area pemerintah kabupaten atau kota. Kesatuan Pengelola Hutan kini beralih ke provinsi.
Menurut Endi, tadinya urusan dua sektor ekonomi dan lingkungan akan langsung ditarik ke pusat. Tapi berhenti di tingkat provinsi sebagai peralihan ke pemerintah pusat. Kini dalam omnibus law semuanya ditarik ke pusat.
Endi menilai penarikan itu tak akan sanggup dipikul oleh pemerintah karena ada begitu banyak segi yang harus diurus dan diawasi. Padahal, otonomi adalah cara berbagi perhatian antara pemerintah pusat dan daerah.
Sebab yang otonom adalah daerahnya, orang-orangnya, bukan pemerintahannya. Jika kewenangan pemerintahannya ditarik ke pusat, Indonesia akan kembali kepada sentralisme kekuasaan.
Karena itu dalam otonomi, bupati dan gubernur dipilih secara langsung oleh masyarakat setempat, bukan diangkat oleh presiden. Akibatnya, gubernur dan bupati bukan anak buah presiden. Jika kewenangan mereka ditarik, jantung otonomi akan cacat.
“Otonomi adalah mandat konstitusi, bukan delegasi dari presiden,” kata Endi. “Kita selamat dari disintegrasi pada 1998 karena ada otonomi.”
Soal kebakaran hutan, misalnya. Pemerintah daerah terkesan cuek pada tragedi di lingkungan di sekitarnya karena pengelolaan dan izin bisnis kehutanan dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga cenderung tak peduli dengan laju deforestasi karena mereka tak punya tugas untuk itu.
Jika mereka cawe-cawe dalam urusan deforestasi sehingga mengalokasikan penanganannya melalui anggaran daerah, Badan Pemeriksa Keuangan akan mengategorikannya sebagai temuan korupsi.
“Omnibus law ini pengalaman pertama Indonsia,” kata Endi. “Kita harus mengawal pembahasannya.”