penanews.id, JAKARTA – Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengingatkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ihwal dimakzulkannya Presiden keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Hal ini disampaikan Adi menanggapi sikap PBNU yang mengusulkan agar presiden-wakil presiden dipilih MPR.
“Kita tidak pernah lupa bahwa Gus Dur di-impeach oleh MPR. Itu mestinya dipahami betul,” kata Adi kepada Tempo.co, Jumat, 29 November 2019.
Gus Dur, yang juga dipilih oleh MPR, dimakzulkan pada tahun 2001. Meski mantan ketua umum PBNU itu juga merupakan produk MPR, sejumlah pihak menilai Gus Dur amat berperan dalam meletakkan demokrasi modern di Indonesia.
Adi mengatakan, usulan PBNU agar presiden-wakil presiden dipilih oleh MPR adalah langkah mundur ke zaman Orde Baru.
Dia menilai tak ada alasan signifikan atau mendesak untuk mengembalikan sistem pemilihan tersebut.
Sistem pemilihan presiden-wakil presiden oleh MPR hanya akan meletakkan proses demokrasi di tangan segelintir elite.
Padahal hakikat demokrasi modern, kata Adi, ialah menempatkan kedaulatan ada di tangan rakyat.
“Demokrasi itu menjadikan rakyat yang biasa-biasa saja jadi aktor kunci yang bisa tentukan proses dan arah kebijakan politik,” ujarnya.
Adi mengatakan PBNU sebagai ormas besar boleh saja menyampaikan gagasannya. Namun ia berpendapat gagasan itu selaiknya yang membangun demokrasi.
“Mestinya NU menangkap semangat dan perubahan zaman,” kata dosen komunikasi politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
PBNU mengusulkan agar presiden-wakil presiden kembali dipilih MPR, sedangkan kepala daerah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo, usul ini disampaikan kepada pimpinan MPR yang datang berkunjung ke kantor PBNU pada Rabu, 27 November 2019.
Pertemuan tersebut membahas agenda amandemen Undang-undang Dasar 1945. Selain mengusulkan pemilihan tak langsung, PBNU juga mendukung kembalinya garis-garis besar haluan negara (GBHN) dan mengusulkan kembalinya utusan golongan di parlemen.