Penanews.id, JAKARTA- Perseteruan dua kubu semakin senget antara Kubu Bambang Soesatyo dan kubu Airlangga Hartarto menjelang Munas Golkar. Kedua belah pihak saling lempar peluru untuk bisa mendapatkan kursi Golkar-1.
Menjelang Munas Golkar, kubu Bamsoet melemparkan tudingan terhadap Airlangga yang merupakan petahana Ketum Golkar. Loyalis Bamsoet, Syamsul Rizal, menyebut adanya tiga menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang campur tangan dalam pemilihan ketum partainya. Dia mengatakan 3 menteri tersebut menekan DPD Golkar untuk memilih kembali Airlangga Hartarto sebagai ketum.
“DPD I dan DPD II, ditekan, bahkan tolong dicatat, ada indikasi kuat Pak Jokowi juga nggak tahu, tapi ada beberapa pembantu Jokowi dijadikan alat juga untuk tekan DPD-DPD, DPD I, melalui kepala-kepala daerahnya. Dan saya pastikan itu Pak Jokowi tidak tahu. Pak Jokowi sudah dari awal katakan tidak mencampuri urusan Golkar. Lha wong Pak Jokowi baik sama Bamsoet dan Airlangga,” kata Syamsul di kantor DPP Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (27/11/2019).
Menurut Syamzul, tiga menteri Jokowi itu menelepon langsung para Ketua DPD I Golkar di daerah untuk memilih dan berpihak kepada Airlangga. Namun dia meyakini Jokowi tak tahu-menahu mengenai hal itu.
Ada tiga pembantu Presiden yang telepon DPD-DPD dan ketua-ketua DPD I dan kepala-kepala daerah untuk pilih Airlangga, berpihak ke Airlangga, yang sebenarnya tiga menteri ini nggak punya jabatan politik di parpol, hanya mau cari legitimasi politik ke Presiden. Biar Presiden itu percaya mereka punya kekuatan politik, padahal sebenarnya nggak, hanya banyak bacot doang. Bukan, bukan dari Golkar. Ada tiga pembantu Presiden, yang satu itu kader Golkar, yang satu akademisi, yang satu partai lain,” ungkap Syamsul.
Dia mengatakan 1 nama dari 3 menteri itu ialah Mensesneg Pratikno. Kemudian dua yang lainnya adalah menteri yang berasal dari Golkar dan PDIP.
“Yang muncul sangat santer itu adalah Pak Pratikno, Mensesneg. Nah, ini kalau begini, kalau Golkar pecah, kasihan Pak Jokowi nggak tahu persoalan, tapi dianggap bagian dari itu, PDIP juga. Jadi tidak elok lah kalau kemudian membawa nama Presiden,” beber Syamsul.
Tudingan Syamsul langsung dibantah kubu Airlangga. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily meminta loyalis Bamsoet tak asal berbicara.
“Sudahlah, nggak usah ngigau ngomong ke mana-mana. Munas sudah di depan mata, tinggal beberapa hari ke depan. Kalau mau maju jadi calon ketua umum, yakinkan para pemegang suara dengan konsep dan gagasan untuk kemajuan Partai Golkar lima tahun ke depan,” sebut Ace.
Airlangga sendiri juga telah memberi bantahan. Menurutnya, tudingan loyalis Bamsoet itu tidak benar.
“Ini kan urusan internal Golkar. Tidak benar. Syamsul Rizal tak perlu ditanggapi,” tegas Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2019).
Airlangga juga menjawab isu meminta bantuan Jokowi serta menteri untuk endorsement sebagai ketum. “Ya kan ini mekanisme internal Partai Golkar, mekanismenya jelas,” katanya.
Tak hanya soal isu menteri Jokowi yang ikut-ikutan dalam pemilihan pimpinan Golkar, kubu Bamsoet juga melemparkan kritikan soal rapat pleno Golkar yang dipimpin Airlangga semalam, Rabu (27/11). Rapat itu disebut tidak membahas materi krusial Munas Golkar.
“Steering Committee (SC) sebagai panitia yang bertanggung jawab menyusun materi Munas hanya memaparkan kisi-kisi melalui slide di proyektor tanpa membagikan atau menunjukkan secara utuh sejumlah materi krusial yang membutuhkan pengesahan pleno. Di antara materi krusial tersebut adalah laporan pertanggungjawaban dan tata cara pemilihan ketua umum/ketua formatur dan anggota formatur,” ujar pro-Bamsoet, Ton Abdillah Has, dalam keterangan tertulis, Kamis (28/11/2019).
Ton Abdillah juga mengkritik draf tata cara pemilihan ketum Golkar yang telah disusun oleh SC. Menurut dia, dukungan 30% secara tertulis dari pemilik hak suara tidak sesuai dengan aturan partai.
“Pada draf tata cara pemilihan pimpinan partai yang disusun SC juga terdapat ketidaksesuaian dengan ART, di mana paparan lisan ketua SC menyebutkan adanya perubahan tata cara pencalonan menggunakan rekomendasi tertulis minimal 30% pemilik suara,” jelas Ton Abdillah.
“Sementara ART pasal 50 menyebutkan pemilihan Ketua Umum DPP dilakukan secara langsung oleh peserta musyawarah melalui tahapan penjaringan, pencalonan dan pemilihan. Terdapat ambiguitas penempatan Pasal 12 poin 4 huruf A yang seyogianya diletakkan pada fase pencalonan melalui pemilihan langsung (voting) di forum Munas, bukan sebagai mekanisme penjaringan lewat rekomendasi tertulis,” imbuh Ketua Departemen Pendidikan dan Cendekiawan DPP Partai Golkar itu.
Sumber:detik.com