penanews.id, JAKARTA – Gagasan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengevaluasi pemilihan kepala daerah secara langsung sebetulnya amat bagus. Mekanisme politik yang diterapkan sejak era reformasi ini memang perlu dibenahi.
Tapi terjadi lompatan logika yang jauh bila kurang sempurnanya pilkada langsung dijadikan alasan untuk beralih ke sistem pemilihan oleh dewan perwakilan rakyat daerah.
Menteri Tito menggugat pilkada langsung dengan menggambarkan dampak buruknya. Di antaranya biaya politik yang tinggi sehingga mendorong kepala daerah melakukan korupsi.
Ia juga mengusulkan sistem pilkada asimetris yang memungkinkan daerah menggelar pemilihan lewat DPRD. Menurut Tito, hal ini bisa diadakan di daerah yang tingkat kedewasaan demokrasinya rendah.
Masalahnya, betulkah sebagian masyarakat kita masih memiliki kedewasaan demokrasi yang rendah? Masyarakat sudah berdemokrasi sejak zaman dulu dalam pemilihan kepala desa.
Kalaupun ada masyarakat yang mempunyai budaya demokrasi rendah, tugas pemerintah dan partailah untuk melakukan pendidikan politik. Realitasnya, konflik sosial dalam pilkada di sejumlah daerah juga tidak dipicu oleh masyarakat, tapi oleh elite politik.
Pemerintah semestinya mengkaji pilkada langsung secara jernih dan tidak terburu-buru mengkambinghitamkan perhelatan demokrasi ini.
Apa betul pula pilkada langsung memicu korupsi? Jika demikian halnya, bupati dan wali kota yang dipilih DPRD di era Orde Baru relatif bersih dari korupsi. Nyatanya tidak demikian.
Calon kepala daerah jorjoran menabur duit selama kampanye pilkada karena masih melihat peluang melakukan korupsi jika terpilih. Ia pun berani membayar mahar yang tinggi kepada partai pengusung.
Kenapa bukan peluang korupsi ini yang kita tutup rapat-rapat? Komisi Pemberantasan Korupsi tetap diperkuat dan perang terhadap korupsi dilanjutkan. Dengan begitu, semua calon kepala daerah tak mau berspekulasi membuang duit dengan harapan akan balik modal.
Bersama partai politik, pemerintah juga bisa merumuskan lagi mekanisme pilkada langsung yang murah. Pemungutan suara secara elektronik bisa dipertimbangkan. Biaya kampanye pun perlu ditekan.
Selama ini, pemerintah cenderung membiarkan praktik tebar duit ke pemilih dan pembayaran mahar yang mahal kepada partai politik pengusung sehingga menimbulkan biaya politik yang tinggi.
Tak ada jaminan pula pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan menjadikan proses politik lebih efisien. Calon kepala daerah juga bisa jorjoran menyuap anggota Dewan agar terpilih.
Calon yang bermodal besar pula yang akhirnya terpilih. Sistem pemilihan lewat DPRD juga akan menyuburkan praktik oligarki sekaligus kartel politik di kalangan partai. Mereka tinggal membagi-bagi jatah posisi kepala daerah di setiap wilayah.
Praktik seperti itu akan mematikan demokrasi. Rakyat tidak bisa menghukum kepala daerah yang korup atau berkinerja buruk karena kekuasaannya telah diambil alih oleh anggota Dewan dan partai politik.
Publik juga tidak mungkin lagi menyodorkan calon pemimpin alternatif di luar kehendak partai politikhal yang masih bisa terjadi dalam pilkada langsung. Bahkan pemilihan langsung memungkinkan calon independen ikut berlaga.
Sungguh keliru jika pemerintah mengubur pilkada langsung. Kebijakan ini bakal melanggengkan kekuasaan elite politik sekarang, termasuk keluarga dan kerabat mereka, tapi akan mematikan aspirasi masyarakat.
SUMBER: tempo.co