
Oleh Salim Shabir’s
(Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah dua tahun dibubarkan oleh Pemerintah melalui Perppu Keormasan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Secara institusional, HTI sudah tidak mempunyai badan hukum yang sah lagi, akan tetapi, bubarnya HTI bukan berarti pemerintah membabat habis sampai ke akarnya, justru lebih bahaya HTI yang saat ini tidak berbadan hukum, karena selain sulit didetksi pergerakannnya, juga persebarannya hampir menjangkiti semua umat Islam tanpa diduga-duga, seperti di Bangkalan baru-baru ini misalnya.
Beredarnya video deklarasi sistem Khilafah di Bangkalan baru-baru ini, cukup menyita perhatian masyarakat Bangkalan (matamaduranews.com/19/11/19). Bagaimana mungkin, Bangkalan yang terkenal dengan Ke-NU-annya, bahkan terkenal dengan guyonan ‘beragama NU’, kok bisa kecolongan begitu saja ?, kejadian ini seakan menguak sedikit soal konsistensi tokoh-tokoh NU Bangkalan terhadap Ideologi Nahdlatul Ulama.
Berbicara tentang ideologi NU, sudah merupakan bahasan yang lumrah di tangah-tengah masyarakat, Ahlus Sunnah Wal Jamaah berbasis tradisional selalu menjadi tumpuan bagi kader NU, di manapun dan kapanpun. Sehingga terasa aneh saja tiba-tiba HTI muncul di kota santri yang terkenal komitmennya terhadap NU, namun tiba-tiba membuka pintu terhadap HTI. Mungkinkah NU Bangkalan sepaham dengan HTI ?.
Bila di-breakdown lebih jauh lagi tentang ideologi NU, paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang selama ini diusung oleh NU, adalah mengambil jalan tengah (wasathiyah) antara Aql (rasional) dan skritualisme (sumber tekstual wahyu). Maka tidak heran bila NU lebih bersahabat degan tradisi dan kebudayaan Nusantara. Dan apabila yang terjadi adalah sebaliknya, bisa dipastikan bahwa prinsip keseimbangan antara rasiologis dan skriptualnya sudah timpang, bisa saja lebih condong kepada rasionalitas atau kapada skriptualitas.
Sedangkan HTI sendiri yang selama ini ajeg dengan ideologinya, Khilafah, ia menolak semua bentuk negara, sistem dan ideologi apapun selain yang tersurat dalam wahyu, baik Al Quran ataupun Sunnah, hal itu juga konsisten kepada pemahaman skriptualisme, dengan pahamnya tersebut ia menghendaki suatu bentuk negara yang diformalkan oleh agama- Formalisme Agama- (Yonky Karman: 76: 2010).
Sampai di sini bisa ditarik sedikit kesimpulan bahwa deklarasi sistem Khilafah yang terjadi di Keleyan, Socah, Bangkalan, merupakan wujud kesepahaman antara HTI dengan kiai NU Bangkalan yang terlibat di dalamnya, atau bisa disebut patron-klien yang terjalin antara mereka dengan berlandaskan pemahaman yang tekstual saja, stagnan, formalistik, dan mengeyampingkan instrumen aqliyah.
Di sisi lain, terjadinya kesepahaman antara beberapa kiai tersebut dengan HTI tidak melulu bergesernya cara pandang terhadap ideologi NU, bisa saja karena pertimbangan politis (Engineer: 96: 2004). Melihat apa yang disambutkan Kiai Rohmat (matamaduranews.com/19/11/19), berupa kecaman-kecaman terhadap tindakan pemerintah yang dipandang kurang adil terhadap sebagian ulama, dibukanya kran investasi asing dan juga hubungan bilateral dengan negara tetangga, sehingga ia menarik kesimpulan harus punya sistem negara sendiri dengan cara menggalang kekuatan dengan janji manis, ekonomi lebih baik, posisi dan jabatan seperti yang selalu ditawarkan di setiap mengadakan muktamar di Madura. Hal ini akan terlihat menarik bagi bagi oknum atau tokoh yang merasa kecewa karena sakit hati dan tidak punya posisi di dalam pemerintahan, apalagi bila calon yang mereka usung kalah dalam kontestasi politik.
Atau, kalau sejenak mundur ke tahun 2010-an, pada tahun itu HTI mulai masuk ke Madura tanpa resistensi yang berarti, bahkan banyak pesantren-pesantren yang membukakan pintu menerima undangan muktamar HTI dengan gegap gempita, bahkan hampir tak satu kiaipun yang mengkritisi sistem Khilafah yang mereka tawarkan, hal itu karena negara Islam yang ditawarkan sesuai dengan isi kitab-kitab impor timur tengah-an yang dikaji di berbagai pesantren tersebut. Maka tidak perlu diherankan lagi bila ulama HTI datang untuk panen apa yang mereka tanam selama kurang lebih 8 tahun, dan, deklarasi pada 19 November 2019 di Socah kemarin bukan suatu yang tiba-tiba, melainkan sudah dibangun sejak dahulu.
Kontradiksi Ritus Dengan Pandangan Teks Kegamaan
Anggap saja oknum Kiai NU Bangkalan di atas sudah mengekor terhadap HTI dalam metode memahami teks-teks wahyu dan pandangan politisk. Namun, ada kesan lucu dan kontra-realita bila melihat lebih jauh lagi soal tradisi-tradisi yang masih marak diamalkan di Bangkalan. Amalan-amalan tradisional yang khas ke-NU-an di Bangkalan masih kekeh diamalkan hingga saat ini, bahkan bisa dikatakan kental sekali, seperti Maulid Nabi Saw, tahlilan, diba’, dan yasinan, sampai ke tanah rantaupun masih dipertahankan.
Akan tetapi hal itu hanya di tataran praksis, jauh berbeda bila melihat realistas pandangan kiai taradisionalis yang masih berkutat dipemahaman tekstual. Oke saja bila bahasan hanya di seputar dalil tahlilan, maulid-an dan sejenisnya, mereka akan bahas sampai mendalam dan bersambung sanad. Namun, bila dibenturkan dengan isme baru seperti Khilafah, mereka lebih condong terhadap tekstual (epistemologi Bayani), kurang berani mengkaji lebih jauh tentang konsep negara yang ideal dalam konteks haterogenitas kebangsaan Indonesia, pembahasan selama ini hanya berkutat hukum fikih klasik saja bila dilihat dari hasil-hasil bahtsul masail pembesar-pembesar di Bangkalan. Akan lain lagi ceritanya bila ada upgrade pemahaman yang lebih revolusioner lagi, NU Bangkalan akan lebih defence terhadap ideologi radikal yang nyata-nyata secara hukum dilarang oleh negara.
Bangkalan Potensi Ladang subur HTI ?
Bila dilihat secara umum, masyarakat Bangkalan tergolong ke dalam budaya politik yang parokial, yaitu masyarakat yang acuh dan kurang kritis terhadap perkembangan informasi dari luar, utamanya tentang apa yang terjadi di ranah pemerintahan dan fenomena sosial, yang penting ikut junjungan (Gambel A. Almond, 1950), partisipasinya terhadap agenda politik tergantung pada titah kiai atau tokoh tapi tidak mempunyai khazanah keilmuan dalam mengolah informasi. Oleh karena itu, warga Madura, termasuk juga Bangkalan, karakternya kebanyakan adalah kulo (Geertz, 1954), yang penghormatannya terhadap tokoh agama juga sangat totalitas dengan loyalitas yang tidak dapat diragukan lagi.
Maka dari itu, sikap atau karakter semacam ini akan sangat bahaya bila yang dicemari pehaman anti Pancasila adalah para tokoh yang oleh masyarakat diberi otoritas tertinggi dalam urusan moral. Apabila jajaran tokoh sudah satu kata mendukung Khilafah, maka semua warga (loyalis) secara otomatis sam’an wa tha’atan terhadap tokoh-tokoh tersebut. Ini akan menjadi arena baru bagi kaum radikal seperti HTI untuk membangun kekuatan kembali.
Satu-satunya harapan yang dapat mendangkal pemahaman ini adalah mahasiswa. Karena mahasiswalah yang masih mempunyai idealisme dan skeptisisme radikal dalam menfilter isme-isme asing, terutama isme impor-an dari timur tengah yang sekilas tampak seksi namun memabukan, yaitu Khilafah.