Oleh: Made Supriatma
Mungkin Anda tidak memperhatikan. Saya juga tidak. Tapi entah mengapa dia muncul di lini masa saya seolah meminta perhatian.
Saya bicara soal pemuda yang meneror perempuan-perempuan dengan melempari mereka dengan pejuh atau spermanya. Saya tidak tahu bagaimana detailnya.
Entah sperma itu dibotolin, disimpan, atau fresh from the dick kemudian dilempar begitu kepada perempuan yang menjadi korbannya.
Itu terjadi di Tasikmalaya. Saya kira, soal seperti ini bisa terjadi dimana saja. Tidak secara spesifik menyangkut satu tempat tertentu.
Terus terang, perilaku ini menjijikkan. Namun dibalik itu, tentu ada yang sebabnya. Orang seperti ini jelas sakit.
Sementara itu, di Bandung (eh Jawa Barat lagi) juga ada fenomena ekshibisionisme. Ada laki-laki yang meneror perempuan-perempuan dengan menunjuk-nunjukkan kelaminnya. Ini juga gejala sakit jiwa.
Sekalipun sakit, apakah mereka tidak boleh dihukum? Ini persoalan lain lagi. Pedofilia adalah juga gangguan jiwa. Namun para pedofil tetap dijebloskan ke dalam penjara.
Soal ini pun masih menjadi perdebatan. Bagaimana menurut Anda? Haruskan orang-orang ini dijebloskan ke penjara? Atau mereka harus mengalami rehabilitasi (saya pernah membaca studi yang mengatakan hampir tidak mungkin untuk merehabilitasi para pedofil atau ekshibisionis.
Benarkah demikian? Saya tidak tahu. Mungkin para psikolog dan seksolog bisa menerangkan dengan lebih baik.)
Disinilah sebenarnya saya tergelitik. Persoalan lempar sperma dan unjuk burung yang menjijikkan ini seharusnya membuat kita melihat ke kedalaman.
Misalnya, persoalan ini seharusnya membikin kita bertanya, mengapa ini terjadi? Apakah ini karena soal psikis pribadi? Ataukah ada faktor psiko-sosial yang mendorongnya? Lalu bagaimana masyarakat harus menanggapi ini?
Jelas ini soal yang agak rumit dan menuntut keahlian untuk memahaminya.
Yang menarik untuk saya adalah bagaimana media terbesar di Indonesia menanggapinya. Seperti bisa, media ini mengutus wartawannya meminta pendapat. Dan, sejak dari dulu, berita kita adalah pendapat.
Para editor di koran kita ini menyuruh wartawannya untuk mewawancarai seorang psikolog. Dan hasilnya sangat epik! Saya kira, Anda harus membaca seluruh analisisnya.
Si wartawan merangkum pembicaraan dengan psikolog itu dengan bahasa Indonesia yang cukup membikin berkerut.
Dia menulis bahwa sang psikolog menangkap keanehan dari perilaku pelempar pejuh ini. Kesalahan ditimpakan pda pornografi. Sementara pemuda ini karena usianya sangat aktif secara seksual.
Anda tahu apa penyelesaian yang diberikan oleh psikolog kita ini dan ditulis secara membeo oleh wartawan kita dan editornya pun rupanya suka? Ya, benar. Kawin!
Pemuda ini harus kawin supaya pejuhnya tidak dilempar-lempar lagi.
Sederhana sekali bukan? Sesederhana, obat terbaik kalau lapar adalah makan.
Segera sesudah membaca berita ini, saya jatuh kasihan pada kawan-kawan yang saya kenal, yang belajar psikologi secara serius.
Link berita: